Sampai saat ini produksi dalam negeri hanya mampu menyuplai kebutuhan nasional sebesar lima persen dari total konsumsi minimal 1,5 juta ton per tahun. Lebih memprihatinkan lagi, jumlah kebutuhan terus meningkat rata-rata lima sampai 10 persen per tahun se
SELAMA ini Indonesia selalu membanggakan diri sebagai negara agraris terbesar di dunia. Akan tetapi, realisasinya sangat bertolak belakang. Indonesia bukannya menjadi pengekspor, tetapi pengimpor bahan pangan dan buah-buahan terbesar. Itu berarti, ketahanan pangan benar-benar rapuh serta nasib petani selalu tertindas, tanpa masa depan. Jeruk, misalnya.
Sampai saat ini produksi dalam negeri hanya mampu menyuplai kebutuhan nasional sebesar lima persen dari total konsumsi minimal 1,5 juta ton per tahun. Lebih memprihatinkan lagi, jumlah kebutuhan terus meningkat rata-rata lima sampai 10 persen per tahun sesuai pertambahan penduduk dan kesadaran untuk mengonsumsi jeruk.
Penurunan volume produksi tak terlepas dari campur tangan yang berlebihan dari pemerintah selama Orde Baru dalam pemasaran jeruk. Hal itu terbukti dengan diberlakukannya tata niaga atau monopoli jeruk siam Pontianak selama satu dasawarsa (15 April 1988-29 Januari 1998). Kebijakan itu ternyata benar-benar menghancurkan 20.000 hektar jeruk dan masa depan ratusan ribu keluarga petani. Petani tadinya sudah memiliki rumah permanen dilengkapi televisi berwarna, antene parabola, kulkas, sepeda motor, bahkan mobil. Tiap tahun mereka juga berlomba-lomba menunaikan ibadah haji serta menyekolahkan anak ke perguruan tinggi. Akan tetapi, dengan tata niaga, mereka perlahan-lahan jatuh miskin secara sangat menyakitkan, karena harga yang diberlakukan pemegang monopoli begitu rendah dari harga pasar.
Namun, petani juga dilarang memasarkan ke pedagang lainnya. Gerak-gerik petani diintai oknum aparat militer dan pemerintah daerah (pemda). Jika ada petani yang kedapatan menjual jeruk miliknya kepada pihak lain di luar pedagang pengumpul yang telah ditentukan pemegang monopoli, langsung dipukul dan dituduh menghambat pembangunan nasional. Takut terhadap aksi kekerasan aparat TNI, petani akhirnya cuma pasrah memasarkan komoditasnya dengan harga rendah. Begitu rendahnya pendapatan yang diperoleh membuat mereka semakin sulit menyisihkan biaya perawatan tanaman, sehingga tanaman dengan mudah diserang hama dan produksi pun merosot tajam. “Sewaktu ada tata niaga itu, jangankan untuk merawat tanaman dan membiayai anak sekolah, membeli kebutuhan beras, gula pasir, dan kopi saja susahnya bukan main. Pokoknya tata niaga itu membuat kami sangat menderita,” ungkap Ambin (49), petani Desa Sidak, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, yang dulu memiliki 10 pohon jeruk.
Untuk mempertahankan hidup, para petani terpaksa melelang satu per satu barang-barang yang dimiliki. Tidak sedikit anak yang putus sekolah dan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia. Jika, pada tahun 1989/1990, TKI asal Sambas yang menuju ke Malaysia hanya 250 orang, maka tahun 1992/1993 meningkat menjadi 2.689 orang. Setahun berikutnya bertambah lagi 4.541 orang, kemudian 1996/1997 sebanyak 6.000 orang. Bahkan, sejak 1998 TKI asal Sambas ke Sarawak meningkat tajam rata-rata 7.500 orang per tahun.
Bukan hanya itu saja, jumlah petani penggarap jeruk pun semakin berkurang. Jika pada tahun 1992 sebanyak 34.613 orang, tiga tahun kemudian tinggal 26.493 orang. Setelah itu terus berkurang, dan tahun 1998 tercatat hanya 1.991 orang. Produktivitas pun terus berkurang. Pada tahun 1992 luas tanaman 21.377 hektar, tapi yang berproduksi 14.756 hektar dengan total buah jeruk yang diproduksi 234.509 ton.
Tiga tahun kemudian, luas tanaman tinggal 16.980 hektar, dan areal yang berproduksi cuma 6.621 hektar dengan jumlah produksi 128.000 ton. Tahun 1998 luas tanaman semakin berkurang, yakni 3.906 hektar dan yang berproduksi 1.132 hektar dengan volume produksi 6.792 ton. Selain itu, keinginan Pemerintah Kabupaten Sambas saat itu agar tata niaga meningkatkan pendapatan asli daerah ternyata hanya utopia belaka. PAD yang diperoleh dari jeruk yang pada 1991/1992 senilai Rp 1,1 milyar itu, tahun 1994/ 1995 merosot tajam, yakni tinggal Rp 878,3 juta, dan tahun berikutnya turun lagi menjadi Rp 750 juta. Bahkan, sejak tahun anggaran 1997/ 1998 hingga saat ini, sepeser pun tidak lagi diperoleh dari jeruk. “Makanya, sampai kapan pun kami tak kan mungkin melupakan kasus tata niaga jeruk. Kasus itu menyakitkan dan telah membuat hidup kami menjadi sangat menderita,” kata Ambin berkali-kali.
SECARA nasional, produksi jeruk sejak tahun 1990 terus mengalami peningkatan, dan pada tahun 1995 sempat mencapai 1,004 juta ton. Tetapi, tahun 1996 langsung anjlok menjadi 793.810 ton. Setelah itu semakin merosot, dan pada 2000 tinggal 368.522 ton.
Realisasi produksi ini berada jauh di bawah kebutuhan nasional, jika diperhitungkan dengan rata-rata komsumsi jeruk di negara berkembang dan negara maju. Menurut ketentuan FAO (Food and Agricultural Organization), konsumsi jeruk di negara berkembang rata-rata masih 6,9 kilogram per kapita per tahun, sedangkan, tingkat konsumsi jeruk di negara-negara maju mencapai 32,6 kilogram per kapita per tahun.
Dengan jumlah penduduk sebanyak 230 juta jiwa, lalu diasumsikan produksi jeruk di Indonesia saat ini sebesar 500.000 ton per tahun, maka komsumsi jeruk di Indonesia baru mencapai 2,2 kilogram/ kapita per tahun. Konsumsi ini masih berada di bawah konsumsi negara-negara berkembang sebanyak 68,12 persen, dan di bawah konsumsi negara maju sebesar 92,40 persen. Selain untuk konsumsi dalam negeri, sebagian jeruk Indonesia telah diekspor ke manca negara, terutama ke negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Hanya saja, jumlahnya relatif kecil.
Namun demikian, pada saat yang sama, Indonesia juga mengimpor jeruk dalam volume dan nilai yang jauh melampaui ekspor (lihat tabel). Berdasarkan studi banding, PT Multi Jeruk Lestari (MJL) di beberapa negara Asia menunjukkan, pengembangan jeruk di Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain. Cina, misalnya, memiliki jumlah penduduk 1,3 milyar jiwa dengan areal perkebunan jeruk 2,4 juta hektar. Tiap hektar mampu menghasilkan 10 ton jeruk berkualitas tinggi dalam setahun, atau total produksi 24 juta ton per tahun. Sebanyak 80 persen digunakan untuk konsumsi dalam negeri, dan 20 persennya diekspor. Sebanyak 10 persen di antaranya adalah jeruk segar yang berkualitas terbaik (kelas A) hanya diekspor ke Eropa. Sedangkan, 10 persen sisanya merupakan jeruk yang berkualitas rendah (kelas C) yang cuma diekspor ke Indonesia. “Inilah yang menyedihkan sekali.
Masyarakat Indonesia begitu berbangga mengonsumsi jeruk Mandarin dari Cina. Ternyata jeruk itu sebetulnya tidak layak ekspor, sebab bukan lagi termasuk buah segar. Bahkan, di Cina biasanya dijadikan makanan ternak, khususnya kuda,” tegas Sugito Darmawan, Presiden Komisaris PT MJL. Pendapat ini juga dibenarkan Arry Supriyanto, pakar jeruk dari Loka Penelitian Jeruk dan Holtikultura Sub-tropik, Batu, Malang, Jawa Timur. Sementara itu, Thailand yang berpenduduk 62 juta jiwa memiliki arel perkebunan jeruk seluas 64.000 hektar. Setiap hektar juga memproduksi 10 ton per tahun, dan yang diekspor hanya lima persen dari total produksi nasional. Lalu, Vietnam, termasuk negara yang baru berkembang. Namun, diperkirakan dalam lima tahun mendatang luas areal tanaman jeruk akan mencapai kurang lebih 40.000 hektar. Bahkan, luas areal ini pun bakal ditingkatkan lagi sebesar 25 persen. Australia yang berpenduduk 18 juta jiwa memiliki arel tanaman jeruk seluas 60.000 hektar. Total produksinya mencapai 650.000 ton per tahun. Tetapi hanya tiga persen sampai lima persen dari total produksi itu diekspor, termasuk ke Indonesia.
Produksi jeruk dunia saat ini sebanyak 1,2 milyar ton per tahun. Volume dan kebutuhan komoditas ini pun terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 10 persen per tahun. Dari volume produksi sebesar itu, AS dan Cina merupakan penyuplai terbesar, yakni masing-masing sebesar 30 persen. Kemudian, menyusul Australia 10 persen, Thailand lima persen, serta sisanya Pakistan dan Vietnam. Sementara Indonesia yang memiliki penduduk 230 juta jiwa cuma memiliki areal tanaman jeruk tidak mencapai 20.000 hektar. Volume produksinya pun pada tahun 2000 tercatat hanya sebanyak 369.522 ton, dan jumlah ini diyakin terus menurun.
Penyebabnya, pengelolaan yang umumnya belum profesional, tak ada program rehabilitas tanaman, dan sebagainya. Melihat realitas ini, berarti masih terjadi kesenjangan antara permintaan dan penawaran jeruk dalam negeri minimal 1.217.478 ton per tahun. Kebutuhan ini diyakin akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Artinya, peluang pasar untuk pembudidayaan dan pengembangan jeruk masih sangat besar di masa depan.
“Peluang ini harus dipenuhi petani kita. Jika hal itu terjadi, volume impor dapat ditekan, dan pasti memberi penghematan biaya yang cukup besar bagi negara,” ujar Menteri Pertanian Bungaran Saragih. Maka, apabila program pengembangan jeruk secara profesional dimulai dari sekarang, diperkirakan pada 2010 Indonesia mulai dapat mengurangi impor jeruk sebesar 50 persen. Bahkan, Kalimantan Barat (Kalbar) berpotensi meningkatkan suplai nasional sebesar 30 persen. (lebih…)
Read Full Post »