Salah satu kendala dalam melakukan diversifikasi pangan adalah kebergantungan pada pangan tertentu, seperti beras, yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan potensi pangan tradisional seakan-akan belum mendapatkan tempat bagi konsumen tersebut.
Salah satu kendala dalam melakukan diversifikasi pangan adalah kebergantungan pada pangan tertentu, seperti beras, yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan potensi pangan tradisional seakan-akan belum mendapatkan tempat bagi konsumen tersebut. Apalagi, bagi kalangan tertentu memanfaatkan makanan tradisional terkadang dianggap terbelakang di tengah banjirnya makanan berlabel impor. Padahal, dari kandungan gizi sebenarnya tidak jauh berbeda dan harganya pun relatif lebih murah.
Sebaliknya pola konsumsi di beberapa negara maju justru terjadi kontradiksi dengan di Indonesia. Konsumen tertentu justru lebih tertarik dengan jenis-jenis makanan tradisional. Tidak jarang, makanan tersebut berasal dari negara lain namun diolah menjadi menarik.
Pola konsumsi seperti ini menyebabkan upaya mendorong pengembangan pangan tradisional cukup sulit. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah melakukan variasi produk atas makanan tradisional, meningkatkan pemanfaatan produk olahan atau menjadi suplemen pada produk lainnya.
Di sisi lain pemerintah dan pihak-pihak terkait harus gencar melakukan kampanye untuk memperkenalkan potensi pangan lokal tersebut. Minimnya informasi tersebut menyebabkan potensi bisnis dan peningkatan produktivitas atas produk makanan tradisional hanya dilirik kalangan terbatas.
Ubi jalar atau Ipomoea batatas L sebenarnya menyimpan potensi yang besar baik sebagai pangan alternatif maupun pengembangan potensi bisnis. Harganya juga relatif murah yaitu antara Rp 500 dan Rp 600 per kilogram (kg). Harga ini sangat terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Produk olahan yang dapat diperoleh dari ubi jalar di antaranya adalah tepung pati, keripik, selai, saus, sirup dan alkohol. Ubi jalar dalam jumlah tertentu juga dapat menjadi substitusi dalam pengolahan tepung terigu. Harus diakui, selama ini sebagian besar masyarakat Indonesia hanya mengolah ubi jalar secara tradisional yakni dengan menggoreng, merebus ataupun dikukus. Data yang ada menyebutkan rata-rata tingkat konsumsi pada 1998 hanya mencapai 8,36 kg per tahun per kapita.
Tepung pati yang merupakan produk setengah jadi dari ubi jalar dapat digunakan sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan kembang gula, es krim, roti, kue dan beberapa minuman sirup. Di Jepang, tepung pati tersebut menjadi salah satu bahan baku pengolahan sirup glukosa dan sirup fruktosa.
Sedangkan di Amerika Serikat, ubi jalar digunakan sebagai bahan baku dalam industri lem, fermentasi, tekstil, farmasi dan kosmetik. Secara umum, ubi jalar sebenarnya menyimpan potensi sebagai pangan alternatif dan juga menguntungkan dari segi bisnis.
Dilihat dari produksi, pada tahun 2000 Indonesia hanya menghasilkan 1,2 persen dari total produksi ubi jalar dunia. Data Departemen Pertanian (Deptan) menyebutkan bahwa pada 2003 diperkirakan kebutuhan nasional mencapai 2.170.426 ton dengan produksi mencapai 2.753.356. Pada 2004 diprediksikan kebutuhan ubi jalar mencapai 2,2 juta ton. (lebih…)
Read Full Post »