Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Januari, 2010

Sampai saat ini produksi dalam negeri hanya mampu menyuplai kebutuhan nasional sebesar lima persen dari total konsumsi minimal 1,5 juta ton per tahun. Lebih memprihatinkan lagi, jumlah kebutuhan terus meningkat rata-rata lima sampai 10 persen per tahun se

SELAMA ini Indonesia selalu membanggakan diri sebagai negara agraris terbesar di dunia. Akan tetapi, realisasinya sangat bertolak belakang. Indonesia bukannya menjadi pengekspor, tetapi pengimpor bahan pangan dan buah-buahan terbesar. Itu berarti, ketahanan pangan benar-benar rapuh serta nasib petani selalu tertindas, tanpa masa depan. Jeruk, misalnya.

Sampai saat ini produksi dalam negeri hanya mampu menyuplai kebutuhan nasional sebesar lima persen dari total konsumsi minimal 1,5 juta ton per tahun. Lebih memprihatinkan lagi, jumlah kebutuhan terus meningkat rata-rata lima sampai 10 persen per tahun sesuai pertambahan penduduk dan kesadaran untuk mengonsumsi jeruk.

Penurunan volume produksi tak terlepas dari campur tangan yang berlebihan dari pemerintah selama Orde Baru dalam pemasaran jeruk. Hal itu terbukti dengan diberlakukannya tata niaga atau monopoli jeruk siam Pontianak selama satu dasawarsa (15 April 1988-29 Januari 1998). Kebijakan itu ternyata benar-benar menghancurkan 20.000 hektar jeruk dan masa depan ratusan ribu keluarga petani. Petani tadinya sudah memiliki rumah permanen dilengkapi televisi berwarna, antene parabola, kulkas, sepeda motor, bahkan mobil. Tiap tahun mereka juga berlomba-lomba menunaikan ibadah haji serta menyekolahkan anak ke perguruan tinggi. Akan tetapi, dengan tata niaga, mereka perlahan-lahan jatuh miskin secara sangat menyakitkan, karena harga yang diberlakukan pemegang monopoli begitu rendah dari harga pasar.

Namun, petani juga dilarang memasarkan ke pedagang lainnya. Gerak-gerik petani diintai oknum aparat militer dan pemerintah daerah (pemda). Jika ada petani yang kedapatan menjual jeruk miliknya kepada pihak lain di luar pedagang pengumpul yang telah ditentukan pemegang monopoli, langsung dipukul dan dituduh menghambat pembangunan nasional. Takut terhadap aksi kekerasan aparat TNI, petani akhirnya cuma pasrah memasarkan komoditasnya dengan harga rendah. Begitu rendahnya pendapatan yang diperoleh membuat mereka semakin sulit menyisihkan biaya perawatan tanaman, sehingga tanaman dengan mudah diserang hama dan produksi pun merosot tajam. “Sewaktu ada tata niaga itu, jangankan untuk merawat tanaman dan membiayai anak sekolah, membeli kebutuhan beras, gula pasir, dan kopi saja susahnya bukan main. Pokoknya tata niaga itu membuat kami sangat menderita,” ungkap Ambin (49), petani Desa Sidak, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, yang dulu memiliki 10 pohon jeruk.

Untuk mempertahankan hidup, para petani terpaksa melelang satu per satu barang-barang yang dimiliki. Tidak sedikit anak yang putus sekolah dan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia. Jika, pada tahun 1989/1990, TKI asal Sambas yang menuju ke Malaysia hanya 250 orang, maka tahun 1992/1993 meningkat menjadi 2.689 orang. Setahun berikutnya bertambah lagi 4.541 orang, kemudian 1996/1997 sebanyak 6.000 orang. Bahkan, sejak 1998 TKI asal Sambas ke Sarawak meningkat tajam rata-rata 7.500 orang per tahun.

Bukan hanya itu saja, jumlah petani penggarap jeruk pun semakin berkurang. Jika pada tahun 1992 sebanyak 34.613 orang, tiga tahun kemudian tinggal 26.493 orang. Setelah itu terus berkurang, dan tahun 1998 tercatat hanya 1.991 orang. Produktivitas pun terus berkurang. Pada tahun 1992 luas tanaman 21.377 hektar, tapi yang berproduksi 14.756 hektar dengan total buah jeruk yang diproduksi 234.509 ton.

Tiga tahun kemudian, luas tanaman tinggal 16.980 hektar, dan areal yang berproduksi cuma 6.621 hektar dengan jumlah produksi 128.000 ton. Tahun 1998 luas tanaman semakin berkurang, yakni 3.906 hektar dan yang berproduksi 1.132 hektar dengan volume produksi 6.792 ton. Selain itu, keinginan Pemerintah Kabupaten Sambas saat itu agar tata niaga meningkatkan pendapatan asli daerah ternyata hanya utopia belaka. PAD yang diperoleh dari jeruk yang pada 1991/1992 senilai Rp 1,1 milyar itu, tahun 1994/ 1995 merosot tajam, yakni tinggal Rp 878,3 juta, dan tahun berikutnya turun lagi menjadi Rp 750 juta. Bahkan, sejak tahun anggaran 1997/ 1998 hingga saat ini, sepeser pun tidak lagi diperoleh dari jeruk. “Makanya, sampai kapan pun kami tak kan mungkin melupakan kasus tata niaga jeruk. Kasus itu menyakitkan dan telah membuat hidup kami menjadi sangat menderita,” kata Ambin berkali-kali.

SECARA nasional, produksi jeruk sejak tahun 1990 terus mengalami peningkatan, dan pada tahun 1995 sempat mencapai 1,004 juta ton. Tetapi, tahun 1996 langsung anjlok menjadi 793.810 ton. Setelah itu semakin merosot, dan pada 2000 tinggal 368.522 ton.

Realisasi produksi ini berada jauh di bawah kebutuhan nasional, jika diperhitungkan dengan rata-rata komsumsi jeruk di negara berkembang dan negara maju. Menurut ketentuan FAO (Food and Agricultural Organization), konsumsi jeruk di negara berkembang rata-rata masih 6,9 kilogram per kapita per tahun, sedangkan, tingkat konsumsi jeruk di negara-negara maju mencapai 32,6 kilogram per kapita per tahun.

Dengan jumlah penduduk sebanyak 230 juta jiwa, lalu diasumsikan produksi jeruk di Indonesia saat ini sebesar 500.000 ton per tahun, maka komsumsi jeruk di Indonesia baru mencapai 2,2 kilogram/ kapita per tahun. Konsumsi ini masih berada di bawah konsumsi negara-negara berkembang sebanyak 68,12 persen, dan di bawah konsumsi negara maju sebesar 92,40 persen. Selain untuk konsumsi dalam negeri, sebagian jeruk Indonesia telah diekspor ke manca negara, terutama ke negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Hanya saja, jumlahnya relatif kecil.

Namun demikian, pada saat yang sama, Indonesia juga mengimpor jeruk dalam volume dan nilai yang jauh melampaui ekspor (lihat tabel). Berdasarkan studi banding, PT Multi Jeruk Lestari (MJL) di beberapa negara Asia menunjukkan, pengembangan jeruk di Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain. Cina, misalnya, memiliki jumlah penduduk 1,3 milyar jiwa dengan areal perkebunan jeruk 2,4 juta hektar. Tiap hektar mampu menghasilkan 10 ton jeruk berkualitas tinggi dalam setahun, atau total produksi 24 juta ton per tahun. Sebanyak 80 persen digunakan untuk konsumsi dalam negeri, dan 20 persennya diekspor. Sebanyak 10 persen di antaranya adalah jeruk segar yang berkualitas terbaik (kelas A) hanya diekspor ke Eropa. Sedangkan, 10 persen sisanya merupakan jeruk yang berkualitas rendah (kelas C) yang cuma diekspor ke Indonesia. “Inilah yang menyedihkan sekali.

Masyarakat Indonesia begitu berbangga mengonsumsi jeruk Mandarin dari Cina. Ternyata jeruk itu sebetulnya tidak layak ekspor, sebab bukan lagi termasuk buah segar. Bahkan, di Cina biasanya dijadikan makanan ternak, khususnya kuda,” tegas Sugito Darmawan, Presiden Komisaris PT MJL. Pendapat ini juga dibenarkan Arry Supriyanto, pakar jeruk dari Loka Penelitian Jeruk dan Holtikultura Sub-tropik, Batu, Malang, Jawa Timur. Sementara itu, Thailand yang berpenduduk 62 juta jiwa memiliki arel perkebunan jeruk seluas 64.000 hektar. Setiap hektar juga memproduksi 10 ton per tahun, dan yang diekspor hanya lima persen dari total produksi nasional. Lalu, Vietnam, termasuk negara yang baru berkembang. Namun, diperkirakan dalam lima tahun mendatang luas areal tanaman jeruk akan mencapai kurang lebih 40.000 hektar. Bahkan, luas areal ini pun bakal ditingkatkan lagi sebesar 25 persen. Australia yang berpenduduk 18 juta jiwa memiliki arel tanaman jeruk seluas 60.000 hektar. Total produksinya mencapai 650.000 ton per tahun. Tetapi hanya tiga persen sampai lima persen dari total produksi itu diekspor, termasuk ke Indonesia.

Produksi jeruk dunia saat ini sebanyak 1,2 milyar ton per tahun. Volume dan kebutuhan komoditas ini pun terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 10 persen per tahun. Dari volume produksi sebesar itu, AS dan Cina merupakan penyuplai terbesar, yakni masing-masing sebesar 30 persen. Kemudian, menyusul Australia 10 persen, Thailand lima persen, serta sisanya Pakistan dan Vietnam. Sementara Indonesia yang memiliki penduduk 230 juta jiwa cuma memiliki areal tanaman jeruk tidak mencapai 20.000 hektar. Volume produksinya pun pada tahun 2000 tercatat hanya sebanyak 369.522 ton, dan jumlah ini diyakin terus menurun.

Penyebabnya, pengelolaan yang umumnya belum profesional, tak ada program rehabilitas tanaman, dan sebagainya. Melihat realitas ini, berarti masih terjadi kesenjangan antara permintaan dan penawaran jeruk dalam negeri minimal 1.217.478 ton per tahun. Kebutuhan ini diyakin akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Artinya, peluang pasar untuk pembudidayaan dan pengembangan jeruk masih sangat besar di masa depan.

“Peluang ini harus dipenuhi petani kita. Jika hal itu terjadi, volume impor dapat ditekan, dan pasti memberi penghematan biaya yang cukup besar bagi negara,” ujar Menteri Pertanian Bungaran Saragih. Maka, apabila program pengembangan jeruk secara profesional dimulai dari sekarang, diperkirakan pada 2010 Indonesia mulai dapat mengurangi impor jeruk sebesar 50 persen. Bahkan, Kalimantan Barat (Kalbar) berpotensi meningkatkan suplai nasional sebesar 30 persen. (lebih…)

Read Full Post »

Salak pondoh merupakan buah-buahan khas Yogyakarta, khususnya dari Kabupaten Sleman. Jadi, pernyataan tidak pas ke Yogya jika tidak mencicipi salak pondoh terkadang benar adanya.

Salak pondoh yang rasanya manis dan mudah dikupas menjadi tanaman pokok banyak petani di Kabupaten Sleman. Namun, akhir-akhir ini, harga salak pondoh berfluktuasi cukup tajam. Terkadang sangat mahal, tetapi tidak jarang harganya anjlok ke titik terendah, hanya Rp 2.000 per kilogram. Sedangkan jika lagi mahal bisa mencapai Rp 7.000 per kilogram.

Keadaan ini sangat memprihatinkan petani salak pondoh yang jumlahnya mencapai ribuan orang. Apalagi salak pondoh kini banyak ditanam di wilayah lain dan hasilnya juga cukup baik.

Berawal dari kekhawatiran tersebut, Sutrisno bersama sejumlah petani salak lainnya yang tergabung dalam kelompok tani di Dusun Rejodadi Bangunkerto Turi, Sleman, kemudian mencoba mengembangkan keripik salak pondoh serta mengembangkan pula tanaman salak organik.

Kepada Pembaruan yang menemui di kediamannya, Sutrisno menceritakan keinginan tersebut terwujud dengan datangnya mesin bantuan dari Departemen Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian senilai Rp 30 juta.

Sebelum merintis keripik salak, Sutrisno sejak tahun 1994 sudah mengembangkan sirup salak dan dodol salak. Namun, pembuatan biasanya hanya menjelang Lebaran ketika banyak pesanan dari keluarga untuk oleh-oleh kerabat yang mudik Lebaran.

Oleh karenanya, ia berusaha mencoba usaha lain dan mulai melirik membuat keripik salak. Apalagi ada penemuan dari sebuah perguruan tinggi swasta di Yogya bahwa keripik salak baik dan enak dijadikan keripik.

Selain bisa mendongkrak harga salak pondoh, keripik salak juga menjadi alternatif untuk memasarkan salak pondoh ke tempat yang relatif jauh dari Yogyakarta. Sebab, daya tahan keripik salak bisa mencapai satu tahun. Sementara salak pondoh segar paling lama satu minggu.

Produksi keripik salak dari Rejodadi bisa mencapai 20-23 kg/hari. Kalau dilihat hasilnya mungkin bisa dibilang sedikit. Namun, untuk membuat satu kilogram keripik sebenarnya berasal dari 10 kg salak segar.

Caranya pengolahannya, salak segar dikupas dibuang kulit dna bijinya. Setiap 10 kg salak segar akan menjadi 6 kg daging salak. Setelah di goreng dengan teknologi vacuum frying sekitar satu jam, daging salak tadi mengering dan berubah jadi keripik, yang beratnya menjadi satu sampai dua kilogram saja.
(lebih…)

Read Full Post »

Anggrek merupakan tumbuhan yang aslinya hidup di hutan. Namun, bukan hal yang mudah mencegah kerusakan hutan di Indonesia. Dan kondisi saat ini yang terjadi, dari 820 jenis Anggrek asli Indonesia yang hidup di hutan pulau Sumatera – kini tinggal 400-an

Punahnya Hutan, Punahnya Anggrek

Anggrek merupakan tumbuhan yang aslinya hidup di hutan. Namun, bukan hal yang mudah mencegah kerusakan hutan di Indonesia. Dan kondisi saat ini yang terjadi, dari 820 jenis Anggrek asli Indonesia yang hidup di hutan pulau Sumatera – kini tinggal 400-an saja. Hingga, patut dipertanyakan upaya konservasi alam ?yang nampaknya harapan semakin jauh dari kenyataan yang ada.

Kenapa?. Salah seorang peneliti senior dari Universitas leiden Belanda mengatakan, dalam tiga tahun mendatang jenis anggrek asli Sumatera diperkirakan akan punah dari habitatnya. Apalagi kalau kita melihat laporan World Bank, yang memperkirakan di tahun 2005 hutan di Sumatera akan punah. Padahal, anggrek asli itu aslinya tumbuh dan hidup dihutan. Jadi, bisa dibayangkan kalau hutannya sendiri hilang. Demikian penjelasan Dr. EF Ed de Vogel dari national Herbarium Netherland setelah selasai menjadi pembicara Ceramah Ilmiah Anggrek di kebun Raya Bogor, Bogor.

Seperti dijelaskannya kepada Republika , anggrek yang hilang itu berada di hutan dataran rendah. Mulai dari permukaan laut sampai dengan ketinggian 1.000 meter. Dan anggrek itu diantaranya berasal dari kelompok Paphiopedilum. Lebih lanjut dijelaskan, kejadian yang menimpa pulau Sumatera ini, khususnya di hutan Sumatera ? merupakan sebuah peristiwa buruk bagi upaya konservasi anggrek di Indonesia. ?Peristiwa di pulau Sumatera ini merupakan bad case? bagi Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena pulau Sumatera merupakan peringkat ke tiga setelah Irian jaya dan kalimantan dalam menyumbang keanekaragaman anggrek di Indonesia. (lebih…)

Read Full Post »

AGRIBISNIS BENIH

Ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul masih merupakan masalah besar dalam mencapai sistem produksi pertanian yang berkelanjutan.

AGRIBISNIS BENIH

Ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul masih merupakan masalah besar dalam mencapai sistem produksi pertanian yang berkelanjutan. Benih sebagai salah satu sektor industri hulu, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam peningkatan produksi pangan dan peningkatan nilai tambah pertanian. Benih unggul dapat mempengaruhi produktivitas, mutu hasil dan sifat ekonomis produk agribisnis tanaman pangan.

Kendala penyediaan benih disebabkan karakteristik usaha benih yang memiliki risiko tinggi dengan keuntungan yang minim.

Proses untuk menghasilkan varietas unggul juga memiliki standar dan sertifikasi yang berlaku secara internasional. Faktor-faktor itu setidaknya harus dipertimbangkan dalam mengembangkan perusahaan industri benih yang tangguh sebagai lokomotif usaha agribisnis.

Iklim dan usaha agribisnis perbenihan boleh dikatakan belum kondusif. Hal ini bisa dilihat dari minimnya ketersediaan benih terutama dari produksi dalam negeri.

Kondisi yang sama pun terlihat pada penciptaan varietas dan distribusi benih tersebut.

Indonesia memiliki dua BUMN dalam memproduksi benih tanaman pangan yakni PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani, sedangkan untuk produsen benih swasta di antaranya PT Pioneer dan PT Monsanto. BUMN perbenihan terlihat kalah bersaing dengan produsen benih swasta.

Dalam hal produksi benih unggul, Guru Besar Universitas Padjadjaran Prof Dr H Achmad Baihaki pernah mengatakan, hal itu disebabkan perusahaan benih multinasional memiliki divisi research and development (R&D). Dengan demikian dan memproduksi varietas-varietas unggul bermutu yang baru, sehingga efisiensi perusahaan menjadi tinggi.

Sedangkan usaha perbenihan nasional hampir seluruhnya bersifat penangkaran, dan tidak memiliki divisi R&D. Selain itu sangat sedikit menghasilkan varietas unggul bermutu yang baru. Padahal, Indonesia memiliki spesifikasi wilayah di mana tingkat adaptasi benih juga sangat terbatas.

Tantangan pengembangan benih unggul dari pihak pemerintah tersebut sebenarnya menjadi peluang bagi pihak swasta.

Hal ini bisa dilihat dari distribusi benih. Pihak swasta lebih giat sampai ke tingkat petani untuk mempromosikan benih unggul dibandingkan dengan produsen benih pemerintah.

Kalaupun ada kemitraan dengan petani, khususnya petani penangkar benih, masih sebatas bimbingan teknis.

Pendekatan yang dilakukan harus memakai mekanisme bisnis yang saling menguntungkan. (lebih…)

Read Full Post »

Pemerintah diminta segera membuat kebijakan yang mampu mendorong industri obat untuk mendanai riset tanaman obat Indonesia. Di Republik Rakyat China (RRC) dan Korea Selatan, kalangan pengusaha mendapat dorongan dari pemerintah untuk mengadakan riset tanaman obat.

Dr Djoko Wahyono, Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), mengatakan saat ini belum terlihat ada kebijakan pemerintah yang mampu menggugah para pengusaha untuk giat mendanai penelitian. Selama ini, sekalipun ada riset yang dilakukan kalangan pengusaha, tapi hanya terbatas pada pengembangan produk saja.

Oleh sebab itu ia mengusulkan perlu ada semacam kebijakan yang sifatnya memaksa atau menekan. ”Kalau dilihat selama ini riset TOI hanya jalan ditempat, baru empat atau lima tahun lalu mereka mulai mengadakan riset,” kata Djoko kepada wartawan, Selasa (9/10) di Purwokerto.

Belum adanya riset tanaman obat yang memadai, menurut Djoko, justru merugikan masyarakat. Sebaliknya bagi kalangan industri tidak ada masalah, karena jauh sebelumnya mereka sudah melakukan diversifikasi usaha. (lebih…)

Read Full Post »

Produksi gula nasional Indonesia mengalami kemerosotan sangat tajam dalam tiga dasawarsa terakhir. Kemerosotan ini menjadikan Indonesia, yang pernah menjadi produsen gula sekaligus eksportir gula, berubah menjadi importir gula terbesar.

Meningkatkan Produksi Gula dengan Menemukan Varietas Tebu Baru

Produksi gula nasional Indonesia mengalami kemerosotan sangat tajam dalam tiga dasawarsa terakhir. Kemerosotan ini menjadikan Indonesia, yang pernah menjadi produsen gula sekaligus eksportir gula, berubah menjadi importir gula terbesar. Rata-rata impor setiap tahun mencapai 1,5 juta ton, atau setara dengan Rp 1 triliun.

Bahkan potensi ekonomi yang hilang yang seharusnya diterima pelaku bisnis gula di Indonesia, baik oleh petani tebu maupun pabrik gula, menjadi sangat besar.

Salah satu kemerosotan produktivitas gula Indonesia, tidak saja karena semakin berkurangnya sawah beririgasi teknis serta meningkatnya areal sawah tegalan, tetapi juga pemakaian varietas tebu yang tidak mendukung produktivitas lahan.

Belum lagi sistem keprasan yang sampai dilakukan lebih dari 10 kali sampai 15 kali dalam lahan yang sama, padahal idealnya hanya sekitar tiga kali.

Dalam kondisi seperti itu, PT Perkebunan Nusantara XI di Jawa Timur berupaya mencari terobosan dengan mengembangkan varietas baru tanaman tebu, yaitu varietas R-579.

Varietas baru ini mampu menghasilkan rata-rata 10,07 ton gula/hektare atau dua kali lipat dibandingkan produktivitas nasional yang rata-rata 4 ton gula/hektare. Angka itu juga melampaui program “akselerasi produksi gula nasional tahun 2007” sebanyak 8,5 ton gula/hektare.

Oleh karena itulah, Menteri Pertanian Bungaran Saragih memberikan penghargaan khusus kepada PT Perkebunan Nusantara XI atas pengembangan varietas baru R-579 melalui SK Mentan No 372/TU.210/A/XI/2002.

Dengan pengembangan varietas baru ini, akselerasi peningkatan produktivitas akan mampu mendorong perbaikan pendapatan petani tebu yang memasok bahan baku kepada pabrik-pabrik gula. Varietas baru R-579 ini merupakan salah satu varietas unggulan PT Perkebunan Nusantara XI yang diharapkan mampu memperbaiki keadaan rendahnya produktivitas lahan tebu milik petani.

Varietas ini pada musim giling yang sedang berjalan ini dikembangkan di Pabrik Gula Djatiroto, Lumajang dengan produktivitas bervariasi antara 8 – 15 ton gula/hektare.

“Kami optimistis apabila dikembangkan secara konsisten, maka sasaran produktivitas rata-rata 8,5 ton gula setiap hektare pada tahun 2007 sudah dapat dicapai,” kata Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara XI, Adig Suwandi.

Dengan produksi sebesar itu maka biaya produksi diharapkan dapat ditekan secara bertahap dari Rp 3.100/kg pada saat ini menjadi kurang dari Rp 2.200/kg.

Varietas lain yang memberi harapan cerah untuk peningkatan produktivitas gula nasional, adalah varietas POJ 3016. Varietas lama ini dimurnikan kembali melalui kultur jaringan. Di pabrik gula Kanigoro, Madiun, varietas ini mampu menghasilkan gula lebih dari 11 ton/hektare.

Varietas unggul berproduksi tinggi atau high yielding varieties dipandang sebagai unsur penting dan langkah awal menuju kebangkitan industri gula nasional. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya, adalah ketepatan jadwal tanam, mutu intensifikasi, penyediaan agro input, manajemen tebang-angkut, dan efisiensi pabrik.

“Kami sadar langkah-langkah mendasar untuk mencapai produktivitas bukan persoalan mudah, mengingat lebih dari 75 persen bahan baku industri gula yang berbasis di Jawa berasal dari tebu rakyat,”kata Adig Suwandi.

Kesediaan petani untuk merehabilitasi tanaman keprasan lanjut dan menggantinya dengan varietas unggul, tidak mudah diatasi dalam situasi keterbatasan dana seperti sekarang.

Salah satu cara yang kini dilakukan PTP Nusantara XI, pada tahun pertama lahan-lahan yang memerlukan rehabilitasi tanaman akan disewa oleh pabrik gula, sedangkan pada tahun kedua keprasan tebu yang sudah diganti varietasnya dikembalikan pengelolaannya kepada petani tebu. (lebih…)

Read Full Post »

Ternyata tidak semua buah mengkudu berkhasiat bagi kesehatan seperti yang berasal dari suku Rubiaceae dengan jenis khusus yakni Morindra Citrofolia.

Tidak Semua Buah Mengkudu Baik Bagi Kesehatan

Ternyata tidak semua buah mengkudu berkhasiat bagi kesehatan seperti yang berasal dari suku Rubiaceae dengan jenis khusus yakni Morindra Citrofolia.

“Kita perlu berhati-hati dalam memilih mengkudu karena jenis mengkudu yang lain seperti mengkudu leuweng, bengkudu dan mengkudu padang tidak mempunyai khasiat sebesar morindra Citrofolia,” kata

Ketua Perhimpunan Peneliti Tumbuhan Obat Indonesia dan Guru Besar Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. Sidik.

Ia mengungkapkan hal itu dalam dalam acara “workshop” tentang khasiat buah mengkudu yang diselenggarakan sebuah perusahaan Jamu Senin (25/11).

Buah mengkudu yang baik, katanya, bahkan bisa meningkatkan gairah seks, namun demikian masyarakat perlu berhati-hati karena meskipun baik bagi kesehatan tidak semua buah mengkudu mempunyai khasiat yang sama.

Prof. Dr. Sidik mengatakan, zat alkaloid Xeronine dalam buah Pace yang bahan aktifnya menunjukkan efek pengobatan. Xeronine bekerja mengatur bentuk dan keutuhan dari protein khusus dalam tubuh manusia dan mempunyai efek positif bagi beberapa organ tubuh berbeda. (lebih…)

Read Full Post »

Produk hasil perkebunan teh nasional, terutama asal Jabar, masih harus berjuang keras untuk meningkatkan daya saing pada pasaran internasional. Pasalnya, sampai kini produk teh nasional peringkatnya masih di bawah negara-negara produsen teh internasional lainnya, terutama Kenya dan Srilanka. Demikian dikatakan pengamat perkebunan nasional, H.S. Dillon yang dihubungi ?PR?, Selasa (10/12).

?Karena produksi teh nasional sebagian besar ada di Jabar, ini jelas tantangan berat bagi para pengusaha tehnya, baik BUMN maupun swasta untuk berupaya tetap eksis. Bahkan, mereka harus berjuang memperoleh peningkatan minat pasar internasional,? ujarnya.

Kondisi demikian, menurut H.S. Dillon, tiga faktor utama penyebabnya yaitu kurang berkembangnya usaha peningkatan kualitas, dan pengembangan strategi pemasaran teh nasional, serta penyusutan areal perkebunan teh nasional. Di samping itu, pemeliharaan dan penyiapan areal perkebunan teh untuk ke depan diketahui banyak kurang terencana.

?Pada sisi lain, adanya lembaga ATI (Asosiasi Teh Indonesia), belakangan malah kurang terdengar lagi kiprahnya. Padahal, mereka berperan strategis untuk menjembatani di samping salah satu pendorong utama bagi berbagai kepentingan usaha teh nasional,? katanya. (lebih…)

Read Full Post »

Kepala Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat (NTB), Ir Surono mengatakan, pihaknya kini menemukan induk benih jambu mete unggul yang bisa berproduksi tinggi.

`Bibit induk jambu mete tersebut nantinya mampu berproduksi sekitar 40 kilogram per pohon, jauh lebih banyak dari produktivitas tanaman mete yang ada sekarang ini hanya sekitar 10 kilogram hingga 11 kilogram per pohon,` katanya kepada wartawan di Mataram, Sabtu.

Dikatakannya, bibit unggul jambu mete tersebut diperoleh dari Balai Benih Obat dan Tanaman Rempah Bogor, Jawa Barat dan segera akan dikembangkan di daerah ini.

situshijau.co.id, 11 Desember 2002

Read Full Post »

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul D I Yogyakarta, dalam waktu dekat merencanakan melakukan budidaya tanaman bunga melati, sebab saat ini sudah ada pesanan bunga tersebut dari Korea Selatan dalam jumlah cukup besar.

`Untuk memenuhi pesanan tersebut, pemkab sedang mencari calon investor yang bersedia melaksanakan rencana ini, ` kata Wakil Bupati Gunungkidul Drs Subechi MM, Jumat.

Disamping itu, pihaknya juga mengajak Balai Penelitian Pertanian Yogyakarta untuk bekerjasama melakukan budidaya tanaman bunga melati, agar mendapatkan kualitas yang memadai dan layak ekspor.

situshijau.co.id, 11 Desember 2002

Read Full Post »

HUTAN Pegunungan Meratus, wilayah Provinsi Kalimantan Selatan yang membujur dari selatan ke utara, ternyata mengandung kekayaan alam flora dan fauna. Hutan ini ternyata juga bak istana anggrek.

Rabu, 11 Desember 2002

Hutan Pegunungan Meratus Menyimpan Istana Anggrek

HUTAN Pegunungan Meratus, wilayah Provinsi Kalimantan Selatan yang membujur dari selatan ke utara, ternyata mengandung kekayaan alam flora dan fauna. Hutan ini ternyata juga bak istana anggrek.

Kandungan flora dan fauna Pegunungan Meratus tersebut sebagian besar bernilai ekonomi dan berdampak terhadap dunia kepariwisataan bila hal itu dipublikasikan ke dunia luar, kata Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Sony Partono.

Menurut dia, salah satu kandungan jenis flora yang mungkin berdampak ekonomi dan bernilai kepariwisataan adalah banyaknya jenis anggrek yang terdapat di hutan Pegunungan Meratus tersebut.

Wilayah hutan Pegunungan Meratus di Kalsel itu meliputi Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tabalong, Hulu Sungai Utara (HSU), dan Hulu Sungai Tengah (HST).

Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten HST HM Mardiansyah mengakui baru tahu bahwa di daerahnya terdapat sebuah kawasan hutan perawan yang antara lain ditumbuhi anggrek. Hutan dimaksud adalah kawasan Batu Perahu dan Juhu, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), yang masih tergolong perawan yang kaya akan tanaman anggrek (Orchidaceae).

”Di kawasan hutan hujan tropis itu bukan saja terdapat jenis pepohonan besar, tetapi juga tanaman anggrek,” tambahnya kepada Antara. (lebih…)

Read Full Post »

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan meneliti sembilan tanaman unggulan bekerja sama dengan universitas dan lembaga penelitian lainnya pada tahun depan.

BPOM akan teliti 9 tanaman unggulan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan meneliti sembilan tanaman unggulan bekerja sama dengan universitas dan lembaga penelitian lainnya pada tahun depan.

Deputi Bidang Pengawasan Obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen BPOM Ruslan Aspan mengatakan kesembilan jenis tanaman yang akan diteliti itu merupakan jenis tanaman komersial yang saat ini sudah banyak diolah industri obat tradisional.
(lebih…)

Read Full Post »

Penerapan intensifikasi pertanian, selain telah memberikan banyak keberhasilan, ternyata juga banyak memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap keseimbangan ekosistem.

Penerapan intensifikasi pertanian, selain telah memberikan banyak keberhasilan, ternyata juga banyak memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap keseimbangan ekosistem.

I Wayan Alit Artha Wiguna, seorang mahasiswa pasca sarjana IPB mengatakan dampak itu antara lain seperti terjadinya pengkayaan hara N, P ,dan K pada perairan, karena penerapannya yang kurang tepat.

Mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan itu mengemukakan pendapatnya, saat mempertahankan disertasinya untuk mencapai gelar doktor, seperti dijelaskan Kepala Humas IPB Agus Lelana di Bogor, Minggu.

Disertasi yang diajukan berjudul “Kontribusi Sistem Usahatani Padi Sawah terhadap Pengkayaan Hara Nitrogen, Fosfor, dan Kalium Aliran Permukaan Pada Ekosistem Subak di Bali (Kasus Daerah Aliran Sungai Yeh Sungai di Tabanan Bali) yang dipertahankan di Ruang Senat Gd. Rektorat Lt. VI Kampus IPB Darmaga.

Ia menjelaskan, di Propinsi Bali pengembangan sektor pertanian, khusus untuk tanaman padi, memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem subak (organisasi tradisional pemakai air irigasi).

Dari hasil penelitiannya, Wayan menyimpulkan bahwa telah terjadi pengkayaan hara perairan yang terkait dengan sistem usaha tani pada ekosistem Subak di Bali.

Tingkat pengkayaan nitrat di daerah hulu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah tengah dan hilir. Namun, mutu perairan di daerah hulu lebih rendah dibandingkan daerah tengah dan hilir. Oleh karena itu, un pelestarian lingkungan, agar dijadikan dasar dalam pembangunan pertanian.

Hadir dalam ujian doktor ini Prof. Dr. Ir. M. Sri Reni, MS; Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc; Prof. Dr. J. Stephen Lansing dan Dr. Ir. Made Oka Adnyana selaku komisi pembimbing.

Sedangkan Dr. Ir. Joko Budianto (Kepala Litbang Pertanian, Departemen Pertanian), juga Dr. Ir. Didy Sophandie, M.Agr (Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB) selaku penguji luar komisi.

situshijau.co.id, 23 Desember 2002

Read Full Post »

ADA sejenis tanaman yang dianggap ?semiliar? karena pada umumnya hanya menjadi tanaman sambilan di pinggiran kebun, pingggiran pekarangan rumah atau di bawah naungan pohon besar


ADA sejenis tanaman yang dianggap ?semiliar? karena pada umumnya hanya menjadi tanaman sambilan di pinggiran kebun, pingggiran pekarangan rumah atau di bawah naungan pohon besar seperti kelapa, sengon dan bahkan jengkol dan petai, serta sebelumnya belum ada kebun khusus. Walau begitu, umbi tanaman ini setiap saat selalu tersedia di pasar, bukan untuk dijadikan makanan-nyamian seperti halnya singkong, talas maupun ubi-jalar, tetapi umumnya akan menjadi pengisi syarat tujuh macam umbi-umbian pada saat selamatan tujuh-bulanan. Juga secara terbatas, kadang-kadang tersedia dalam bentuk tepung untuk pembuatan bubur ataupun kue-kue.

Inilah jenis makanan yang saat Indonesia dilanda krisis moneter dan ekonomi berkepanjangan sampai sekarang, mulai dimunculkan ke permukaan oleh para pejabat terkait, mulai dari Menteri Pangan dan Hortikultura, Menteri Pertanian, dan bahkan Menteri Perindag. Karena, tepung umbi tanaman ini akan dijadikan sebagai pengganti tepung terigu.

Secara umum, masyarakat Jawa Barat (suku Sunda) menyebutnya patat sagu, kemudian irut, arut, garut, jelarut, dsb. Sedangkan orang Amerika, asal tanaman ini menyebutnya arrow-root. Karena menurut sejarahnya, asal tanaman ini dari kawasan Amerika-tropis, kemudian menyebar ke India, Srilangka, Filipina, dan Indonesia, sekarang dikebunkan secara luas di Filipina dan India.

Garut, irut, arus atau jelarut, besar kemungkinan berasal dari kata arrowroot karena umbi atau rimpang tanaman ini seperti anak panah, lancip, adalah maranta arundinacea, merupakan tanaman perdu dengan tinggi antara 40-60 cm, tumbuh baik pada lahan dengan ketinggian mulai dari 0 sampai 900 meter dpl serta yang paling baik pada ketinggian antara 60-90 m, dengan keadaan tanah lembab dan lingkungan terlindung di bawah pohon tinggi, misalnya kelapa, sengon bahkan jengkol, dan petai.

Sejak lama masyarakat mengenal garut sebagai tanaman penghasil atau rimpang yang dapat dijadikan panganan seperti halnya singkong, ubi jalar. Kemudian ada yang dijadikan tepung untuk membuat bubur, kue-kue, bahkan candil ataupun goyobod.

Bahkan, saat bedak tradisi yang terbuat dari ramuan beberapa umbi ataupun rimpang, misalnya bedak Saripohaci yang sangat populer di kawasan Priangan masih menjadi ?primadona? kosmetika tradisi, bahan baku tepungnya harus terbuat dari tepung garut.

Di kawasan Amerika sendiri, asal tanaman garut, orang Indian selalu menggunakan perasan akarnya sebagai obat luka, obat karena tusukan anak panah, dan bahkan obat luka karena gigitan serangga dan ular. Sedangkan di Filipina dan India, hancuran akar garut kemudian dijadikan bahan baku untuk pembuatan minuman beralkohol, seperti layaknya tuah dan brem di Indonesia atau sake di Jepang.

Di Indonesia sendiri khususnya di sepanjang kawasan Pulau Jawa, umbi garut banyak digunakan untuk makanan nyamian bersama bajigur atau bandrek (minuman tradisi masyarakat Sunda) atau dibuat keripik. Bahkan, sekarang keripik asal umbi garut mulai menjadi komoditas andalam perajin makanan ringan sekitar Garut, Tasik, dan Ciamis.

Mulai dikembangkan

Akibat krismon dan semakin terpuruknya perekonomian Indonesia, ternyata membawa hikmah terhadap banyak komodias Indonesia yang sebelumnya banyak disepelekan dan bahkan tidak pernah dilirik. Salah satunya umbi tanaman garut. Sejak lama tim ahli di lingkungan Balitbang Pertanian berupaya meningkatkan peran aktif umbi dan terutama tepung garut karena dari hasil penelitian dan pengembangan sejak lama, sudah positif memiliki potensi yang menguntungkan.

Seperti misalnya tepung umbi garut. Dari banyak uji coba pemanfaatan secara luas, pada akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa bentuk, sifat, dan karakteristik tepung tersebut tidak jauh berbeda dengan tepung terigu. Dengan demikian, jangan heran kalau masyarakat Jawa Barat misalnya, khususnya yang bertempat tinggal sekitar Ciamis, Tasik, Garut, Sumedang bahkan Cianjur Bogor, mengenal umbi garut sebagai bahab baku pembuatan tepung yang umum dijual di pasar. Sehingga, sebelum terigu memasuki pasar tradisi secara luas, terlebih dahulu masyarakat mengenal tepung garut sebagai tepung untuk membuat kue-kue, lapis, serta sederet makanan lainnya.

Sekarang pada saat harga terigu melambung tinggi karena subsidi untuk pembelian impor biji gandum sebagai bahan baku tepung terigu mulai dibatasi dan akan dihapus mulai Oktober 1998, kehadiran tepung garut mulai dimunculkan lagi dengan predikat terhormat sebagai pengganti tepung terigu.

Pemerintah Indonesia walau dengan berat sekali harus menarik semua subsidi terhadap impor biji gandum yang akibatnya harga banyak makanan hasil olahan tepung terigu akan naik seperti halnya mi instan, kue, dan roti, tetapi kalau dilihat jumlah subsidi per tahun sekira Rp 3,4 triliun dari seluruh jumlah devisa impor sekira Rp 8,1 triliun maka keputusan tersebut dinilai sangat tepat untuk masa kini. Karena kalau saja uang subsidi terhadap impor biji gandum kemudian dialihkan menjadi subsidi terhadap beras misalnya, manfaatnya akan lebih banyak, lebih luas terhadap masyarakat yang mayoritas ?pengguna? nasi.

Bahwa kemudian harga mi instan ataupun hasil olahan terigu lainnya akan menjadi mahal, keputusannya diserahkan kepada masyarakat terbatas yang sudah telanjur menyenangi produk olahan tepung terigu tersebut. Oleh karenanya, tidak heran kalau keputusan pemerintah untuk menghentikan semua subsidi terhadap impor biji gandum, disambut oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai keputusan yang penuh kebijakan mengingat uang sebesar Rp 3,4 triliun bukan sedikit.

(lebih…)

Read Full Post »

Older Posts »