Indonesia memiliki potensi tanaman atsiri yang begitu besar. Sayangnya, potensi tersebut masih sulit dikembangkan menjadi primadona komoditas ekspor. Salah satu penyebabnya, kurang dikuasainya teknologi pengolahan.
Indonesia memiliki potensi tanaman atsiri yang begitu besar. Sayangnya, potensi tersebut masih sulit dikembangkan menjadi primadona komoditas ekspor. Salah satu penyebabnya, kurang dikuasainya teknologi pengolahan.
Coba bayangkan. Di seluruh Indonesia tersebar sekitar 40 jenis (spesies) tanaman atsiri yang berpotensi dikembangkan seperti akar wangi, nilam, serai wangi, kenanga, daun cengkeh, jahe, dan pala. Namun, sampai kini yang bisa diolah untuk diekspor baru 12 jenis. Di seluruh pasar dunia terdapat sekitar 80 jenis minyak untuk berbagai bahan baku.
Kegunaan essential oil ini boleh dibilang sangat luas mulai sebagai bahan baku parfum, antiseptik, kosmetik, obat-obatan, flavour agent dalam makanan atau minuman, serta pencampur rokok kretek. Beberapa jenis di antaranya digunakan sebagai bahan analgesic, haemolitic atau sebagai antizymatic, serta sedavita dan stimulan untuk obat sakit perut.
Jadi, tidak mengherankan kalau sejak Perang Dunia II, minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Dr Joko Budianto, di pasar dunia minyak atsiri Indonesia mendapat saingan dari Cina, Sri Lanka, dan Brasil.
Tahun 1998 nilai ekspor 20 negara penghasil minyak atsiri mencapai US$ 758 juta. Indonesia berkontribusi sekitar 4,4 persen sedangkan RRC 18,6 persen.
Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor beberapa jenis minyak atsiri yang tidak dapat tumbuh di sini. Tahun 2000 impor minyak atsiri di Indonesia mencapai 1.625 ton dengan nilai US$ 7,3 juta.
Beberapa faktor penghambat perkembangan produksi minyak atsiri di Indonesia, kata Joko, masih lemahnya modal dan penguasaan teknologi. Minimnya pengetahuan para perajin minyak atsiri seperti persyaratan dan ketentuan teknis dalam melakukan proses penyulingan minyak atsiri juga menjadi faktor penghambat.
“Begitu juga dengan penggunaan bahan dan peralatan yang kurang baik. Akibatnya, mutu minyak yang dihasilkan pun sering kali tidak begitu baik,” ungkap Joko dalam acara “Gelar Teknologi dan Temu Usaha Minyak Atsiri” di Majalengka, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Padahal, kata dia, Provinsi Jawa Barat terutama Majalengka memiliki prospek yang cukup baik sebagai daerah pengembangan berbagai tanaman minyak atsiri. Sebab, daerah ini memiliki tipe tanah dan elevasi sera iklim yang agak berbeda dibandingkan beberapa daerah lainnya.
Terobosan Baru
Melihat kendala tersebut, Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Pascapanen Pertanian melakukan terobosan baru dengan mengembangkan teknologi penyulingan minyak atsiri di Majalengka.
“Harapannya, dapat meningkatkan pengembangan agribisnis minyak atsiri dengan mutu tinggi serta keberpihakan kepada petani,” ujarnya.
Menurut Peneliti Balai Penelitian Pascapanen Pertanian, M Pandji Laksmana Hardja, teknologi dengan sistem semi boiler kohobasi merupakan rekayasa dari timnya.
Teknologi itu tercipta setelah tim tersebut menemukan kelemahan-kelemahan yang ditemukan di ketel penyulingan tradisional (metode Bengkulu) yang selama ini dipakai petani.
Berkat temuan teknologi itu, selama penyulingan berlangsung destilasi dari air yang diduga masih mengandung minyak dapat kembali masuk ke ketel. Selain itu, sistem ini juga mampu “memaksa” agar sisa panas (uap) yang dihasilkan dari proses penyulingan dapat kembali masuk ke dalam ketel melalui pipa.
Uap ini kemudian membantu proses pemanasan air dalam ketel sehingga mempercepat pemanasan dan efisiensi air. Selain itu, uap tersebut akan membuat suhu panas di dalam ketel lebih cepat dan konstan.
Sistem ini dapat membantu mempercepat proses penyulingan. Mereka telah mencobanya pada daun nilam. Hasilnya, proses penyulingan dapat dipercepat menjadi sekitar enam jam.
“Jadi dalam satu hari petani dapat melakukan penyulingan 2 – 3 kali,” ungkap Pandji. Padahal, selama ini proses penyulingan minyak atsiri dengan menggunakan teknologi tradisional membutuhkan waktu sekitar 8 – 10 jam.
Dari segi mutu minyak yang dihasilkan, katanya, minyak yang disuling dengan teknologi baru berwarna bening. Coba bandingkan dengan penyulingan tradisional yang berwarna gelap seperti air kopi. Hal itu dikarenakan proses penyulingan berlangsung terlalu lama sehingga berakibat minyak menjadi hangus. (lebih…)
Read Full Post »