Aneh tapi nyata! Pohon duku benar-benar berakar papan. Dengan mencuatkan lehernya di atas permukaan tanah, akar ini berdiri tegak segepeng papan. Bentuk ini agaknya perlu, untuk menopang batang bertajuk tinggi.
Umumnya kita mengenal duku sebagai buah yang kecil-kecil seperti gundu saja. Sangat jarang di antara kita yang mengenal pohonnya.
Pohon duku bisa setinggi 20 m, dengan lingkar batang sepelukan orang. Batang yang berwarna coklat kehijauan ini tidak mulus, tetapi beralur tidak teratur. Pada batang inilah (kira-kira setinggi 15 m) muncul buahnya yang bulat kecil, kalau pohonnya masih muda. Buah juga muncul pada cabang-cabang besar, kalau pohonnya makin berumur.
Buah duku digemari orang, karena rasanya memang manis, sedap menyegarkan. Harganya pun relatif murah, sehingga baik orang berada maupun tidak berada bisa membelinya.
Tiga forma
Sayang, ukurannya yang kecil membuat orang penasaran ketika menyantapnya. Untuk bisa menikmatinya sampai puas, kita terpaksa makan banyak. Kulitnya menyampah menyebalkan! Tetapi beberapa petani daerah pedalaman ternyata tidak merasa sebal. Mereka mengeringkan saja kulit duku itu untuk dibakar di senja kala. Sebab, asap yang timbul dapat mengusir nyamuk. Jadi tidak usah susah-susah membeli obat nyamuk!
Tanaman dengan nama ilmiah Lansium domesticum ini mempunyai tiga forma yang umum dikenal masyarakat:
Duku, yang kulit buahnya tebal kuning coklat, dan tidak bergetah kalau dipencet. Daging buahnya manis, banyak berair, dan tebal karena bijinya kebetulan kecil.
Langsep, langsat, atau pijetan, yang kulit buahnya bergetah banyak, berwarna kuning muda agak kehijauan, yang terkenal sebagai kuning langsat. Daging buahnya masih cukup tebal untuk dinikmati. Sayang rasanya lebih asam daripada duku! Tetapi justru asam-asam manis ini yang disukai para kawula muda.
Walaupun rasanya enak, namun dalam satu tandan, buah duku hanya sedikit jumlahnya (8 – 12 buah). Sedangkan langsep yang kurang enak justru lebih banyak buahnya (sampai 20 buah tiap tandan).
Nama Lansium jelas diambil dari nama langsep Jawa Timur. Duku (termasuk forma langsep) diakui hidup asli di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sehingga nama marganya diambil dari nama daerah. Di daerah Melayu ia diindonesiakan menjadi langsat.
Tetapi di Jawa Tengah ia disebut pijetan karena buahnya yang sudah masak dan tak bergetah lagi, biasa dipejet-pejet sampai empuk, lalu sarinya yang berair diisap-isap melalui lubang bekas tangkai buah. Forma pijetan terpaksa dimakan dengan cara ini, karena bijinya lebih besar daripada biji duku. Daging buahnya cuma sedikit, dan tidak memadai untuk dikupas sampai telanjang bulat seperti duku.
Kokosan buahnya lebih kecil lagi, dan tumbuh rapat dalam dompolan. Kalau sudah masak, warnanya berubah kuning tua kemerah-merahan bagus sekali. Sayang getahnya banyak, dan bijinya besar, sehingga daging buahnya cuma sedikit. Tapi sebodoh amat! Rasanya toh asam sekali. Jadi biasanya juga tidak dimakan sebagai buah meja, tetapi cuma diperbincangkan saja!
Buah musiman
Duku yang paling terkenal ialah duku palembang, yang daging buahnya bening, dan manisnya betul-betul menyenangkan. Saking terkenalnya, sampai gambar duku dipakai sebagai maskot Propinsi Sumatra Selatan.
Tetapi duku yang bermutu bagus justru tidak berasal dari Palembang, melainkan dari kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu), penghasil varietas Ogan dan Komering I; OKI (Ogan Komering Ilir) penghasil varietas Guyun dan Komering II; dan Muara Enim, penghasil varietas Muncung, Bulat dan Lonjong.
Nama duku palembang kemudian banyak dicatut oleh pedagang buah yang mengambil duku dari Kumpeh, Kabupaten Batanghari, Jambi. Berpeti-peti duku kumpeh dikemas dengan merk “Duku Palembang” lalu diangkut bertruk-truk ke Jakarta dan Padang. Duku Kumpeh sama enaknya, dan selama konsumen tidak dirugikan, maka pencatutan nama ini tidak mengganggu kesehatan.
Musim duku biasanya jatuh pada bulan Maret – April. Namun ini sangat dipengaruhi oleh kapan mulai datang musim hujan di suatu daerah duku. Kalau datangnya lebih awal dari biasanya, musim duku akan maju lebih awal juga. Sebaliknya, kalau terlambat, ya terlambat!
Musim duku Sumatra (dari Aceh sampai Palembang) dan Jawa Barat (Condet, Jakarta) jatuh pada awal bulan Maret. Tetapi musim duku Kalijajar di kaki Gunung Slamet dan Metesih di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah, umumnya jatuh pada akhir bulan April. Begitu juga langsep Singosari di kaki Gunung Kawi, Jawa Timur.
Musim buah duku selalu didahului oleh musim bunga. Normalnya jatuh pada musim hujan, sekitar Desember – Januari. Dengan curah hujan yang normal, dan air yang cukup dalam tanah, pohon dirangsang untuk bersemi. Tetapi kalau hujan tidak turun-turun selama musim bunga ini, pembentukan bunga tidak akan terjadi.
Sebaliknya, kalau hujan deras turun terus berkepanjangan selama awal musim bunga, bunga duku juga gugur dan gagal membentuk buah.
Kiat memilih duku
Duku yang bagaimana sih, yang enak dimakan? Jawabnya adalah yang benar-benar masak di pohon. Warnanya sudah kuning agak coklat muda. Sedangkan buah langsep dikatakan masak pohon kalau warnanya sudah kuning cerah secara merata, tidak ada nuansa hijaunya lagi.
Sayang, buah masak pohon ini cepat sekali berubah penampilannya. Dalam waktu 4 hari, kulitnya yang kuning coklat (tanda kematangan) sudah mulai bertotol-totol coklat. Kalau terbentur-bentur dan lembap, malah lebih cepat lagi totol-totol itu keluar.
Duku memang harus diperlakukan dengan hati-hati, jangan sampai “dituang” seperti gundu berderai-derai ketika dipindah dari wadah ke wadah lain. Memindah duku mestinya dengan tangan segenggam demi segenggam. Jadi persis seperti memperlakukan telur puyuh.
Sebaliknya juga kurang bijak kalau kita panen duku ketika warnanya masih kuning pucat, atau hijau muda pada langsep. Diperam pun tidak akan masak, malah berubah rasanya. Sebab, duku memang buah yang non klimakterik (tidak mengalami masa perubahan fisiologis). Proses pemasakannya tidak berlanjut setelah buah dipetik dari pohon. Kalau toh diperam, warna kulitnya berubah terpaksa, dan tampak seperti buah masak pohon. Tetapi warna itu kusam tidak menarik. Sedangkan rasanya tetap saja asam.
Cara lain yang bisa ditempuh, karena dimaafkan oleh penjual buah, ialah mencicipi sebuah, sebelum membelinya banyak-banyak. Penjual biasanya membolehkan kok. (Ir. Irwan Daud)
dari : indomedia.com/intisari/2000/januari
Tinggalkan komentar