Sebagai jenis flora endemik Kalimantan yang dilindungi, anggrek hitam di Kalimantan Tengah perlu dilestarikan. Dekade tahun 1980-an, anggrek ini masih mudah ditemukan di tepi jalan kawasan Marang, Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya.
Sebagai jenis flora endemik Kalimantan yang dilindungi, anggrek hitam di Kalimantan Tengah perlu dilestarikan. Dekade tahun 1980-an, anggrek ini masih mudah ditemukan di tepi jalan kawasan Marang, Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya.
?Anggrek hitam merupakan sumber plasma nutfah yang memungkinkan dijadikan bahan persilangan,? kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah (Kalteng) Yohanes Sudarto, Jumat (20/1) di Palangkaraya.
Di Kalteng, anggrek hutan saat ini relatif masih mudah dijumpai di hutan-hutan daerah aliran Sungai Barito, semisal di Kabupaten Barito Utara, Barito Selatan, dan Barito Timur. Keberadaan anggrek hitam alam makin sulit ditemui di daerah yang telah dibuka untuk peruntukan lain, semisal permukiman.
Hasil survei yang dilakukan Perkumpulan Penyelamat Satwa dan Perkumpulan Pemuda Mandiri menunjukkan keberadaan anggrek hitam di kawasan sekitar Desa Merutuwu, Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.
Anggrek hitam (Coelogyne pandurata) adalah jenis anggrek alam dari Kalimantan, berbau harum lembut, dan mekar antara 5-6 hari. Anggrek hitam ini banyak diminati sehingga keberadaannya di alam terancam akibat pengambilan yang berlebihan.
?Sedang dijajaki kemungkinan menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan konservasi anggrek hitam, yang sekaligus bermanfaat bagi masyarakat sekitar kawasan,? kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Penyelamat Satwa Kalteng Taufik.
Faktor pengancam kelestarian anggrek hitam antara lain perubahan atau rusaknya habitat tumbuh anggrek tersebut akibat penebangan, konversi lahan untuk pertanian atau permukiman, pertambangan maupun terjadinya fragmentasi habitat.
Apabila hal itu terjadi terus- menerus, anggrek hitam dikhawatirkan punah. Padahal, anggrek hitam termasuk jenis tumbuhan dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 yang dikeluarkan pada 27 Januari 1999.
Menurut Taufik, dimungkinkan pula pengelolaan kawasan tersebut secara legal oleh Pemerintah Kabupaten Barito Timur. Pengelolaan dilakukan dengan menjadikan lingkungan tempat tumbuh anggrek hitam sebagai kawasan konservasi, pusat penelitian alam.
Sebagai gambaran, kawasan hutan adat Desa Murutuwu berbatasan dengan tiga desa. Di sebelah selatan Desa Telang, Siong, dan di sebelah utara Desa Balawa. Keempat desa ini disebut Desa Paju Epat karena dalam sejarah merupakan tempat asal usul suku Dayak Maanyan.
Kawasan ini sejak turun-temurun menjadi milik Desa Murutuwu karena merupakan hutan adat. Masyarakatnya memanfaatkan hasil hutan untuk sekadar mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, untuk kebutuhan upacara ritual adat Kaharingan Ijame, yaitu pembuatan raung atau kayu untuk menyimpan tulang yang dibakar.
situshijau.co.id, 29 Januari 2009
Tinggalkan Balasan