karir anda mentok, karena pendidikan tak mendukung ? lanjutkan kuliah di |
tempat kuliah paling fleksibel SARJANA NEGERI 3 TAHUN – TANPA SKRIPSI ABSENSI HADIR BEBAS – BERKUALITAS – IJAZAH & GELAR DARI DEPDIKNAS MURAH DAPAT DIANGSUR TIAP BULAN -terima pindahan dari PTN/PTS lain |
MANAJEMEN – AKUNTANSI – ILMU KOMUNIKASI – ILMU PEMERINTAHAN |
70314141;92099941;7313350 jl. terusan halimun 37 bandung- utkampus.net
Namanya mendunia. Tak kurang Pangeran Charles, Pangeran Bernhard, dan sederetan pejabat penting di tanah air pernah bertandang ke sana. Wanagama memang sebuah kawasan hutan buatan seluas 600 ha yang menawarkan ketenangan dan kesejukan di tengah kegersangan perbukitan kapur di Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Ia juga salah satu contoh gerakan reboisasi yang berhasil di wilayah tandus itu.
Matahari siang di akhir bulan November 1996 sedang garang-garangnya. Namun di pelataran Wisma Cendana, di kawasan hutan Wanagama justru keteduhan yang terasa. Embusan semilir angin, kicauan burung prenjak, dan beragam jenis kupu-kupu yang terbang ke sana-sini sanggup meredam kegerahan siang yang terik itu.
Wanagama (wana artinya hutan dan gama singkatan: Gadjah Mada), yang terletak di Desa Banaran, Kecamatan Playen, Gunung Kidul, jadi lebih terasa sebagai oase, tempat bagi siapa saja untuk menikmati suasana sebuah hutan di tengah perbukitan kapur yang gersang.
Awalnya pohon murbei
Hutan Wanagama merupakan salah satu di antara objek wisata unggulan yang ditawarkan kepada wisatawan. Padahal sebelumnya kawasan perbukitan ini gersang dan nyaris gundul. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang diprakarsai Oemi Hani’in Suseno – waktu itu menjabat sebagai dekan – dan Tri Setyo seorang dosen fakultas tersebut mencoba menghutankan kembali lahan seluas 10 ha pada tahun 1964 di wilayah itu. Bersama dengan seorang warga setempat, Wagiran, mereka menanam dan merawat pohon murbei (Morus alba). Tanaman ini dipilih lantaran daunnya bisa dimanfaatkan sebagai makanan ulat sutera dan tidak mudah rontok.
![]() |
Sejak awal masyarakat sekitar sudah dilibatkan dalam program itu. Mereka diberi pekerjaan untuk memetik daun murbei yang kemudian dibeli oleh pihak pengelola hutan seharga 1 ringgit (Rp 2,50) per kg. Daun tersebut digunakan sebagai pakan pada budidaya ulat sutera. Dari hasil penjualan kepompong, modal pengembangan diperoleh.
Usaha tersebut ternyata membuahkan hasil dan Direktorat Kehutanan, sebagai pemilik lahan, merasa simpati. Untuk itu lahan penghijauan diperluas menjadi 79,9 ha. Dari waktu ke waktu terus diperluas sehingga sekarang luas Wanagama sudah sekitar 600 ha yang terbagi dalam 9 petak. Tujuan utama dibangunnya kawasan Wanagama adalah untuk mencari model cara menanggulangi kekritisan tanah di Gunung Kidul. Di samping itu juga difungsikan sebagai hutan pendidikan dan penelitian lapangan bagi mahasiswa UGM.
Serasa di Puncak, Bogor
Sebagai objek wisata Wanagama barangkali bisa disejajarkan dengan kawasan Puncak di Bogor, Tawangmangu di Surakarta, ataupun Bandungan di Ambarawa. Perjalanan menuju Wanagama sendiri sudah mengasyikkan. Selewat kota kecamatan Patuk, jalan mulai menanjak dan berkelak-kelok. Di sini kesan sejuk dan nyaman mulai terasa. Sesekali, jika berhenti di tepi jalan, bisa terlihat hamparan sawah dan kawasan Kota Yogyakarta dari ketinggian.
Selepas dari sebuah jembatan di Sungai Oya, yang merupakan batas Hutan Bunder, jalan beraspal mulus itu masih saja meliuk-liuk. Di kanan-kirinya ditumbuhi pepohonan rindang, jauh dari kesan Gunung Kidul yang tandus.
Pada pertigaan Desa Gading, harus diambil arah kanan untuk menuju ke Wanagama. Meski tak selebar jalur Yogyakarta – Wonosari, jalan masuk ke Wanagama sudah diaspal. Jika berangkat dari Yogyakarta menggunakan kendaraan umum (bus jurusan Yogyakarta – Wonosari), ada ojek yang siap mengantar sampai tujuan.
Sebelum memasuki kawasan Wanagama, Anda sudah disambut oleh suburnya ladang penduduk sekitar (Desa Kemuning, Ngleri, maupun Banaran). Memasuki pintu gerbang kawasan Wanagama, nampak kawasan peternakan ulat sutera di kiri jalan. Dalam sebuah bangunan yang baru selesai direnovasi, terdapat ratusan ulat sutera dengan beberapa kepompongnya yang putih laksana kapas.
Selepas pintu gerbang, hanya ketakjuban yang terlintas dalam benak. Rindangnya pohon akasia, secang, mahoni, jati, sengon, flamboyan, eboni, dll., seakan-akan mengubur bayangan kita akan daerah kapur yang tandus. Apalagi, katanya, jika flamboyan sedang berbunga, akan segera terkenang lagu Bimbo yang syahdu itu. Kekaguman semakin memuncak manakala tahu betapa tipisnya lapisan tanah tempat pohon-pohon itu tumbuh.
Kekaguman itu pula yang terlontar dari mulut Pangeran Charles dan Pangeran Bernhard maupun para tamu yang mengunjungi Wanagama. Prof. Edi Sedyawati, Dirjen Kebudayaan Depdikbud dalam buku tamu menuliskan kesannya, “Sungguh luar biasa! Suatu bukti semangat berjuang untuk ilmu dan kesejahteraan bangsa.” Sedangkan Zurinawati Jumahat, Ministry of Education Montfort Sec. Sch. SST (Geography), Singapura, menulis, “Wanagama is beautiful. I’ll be back next year. I hope!”
Jati londo, pohon kenangan
Kunjungan Pangeran Charles ke hutan buatan ini pada 5 November 1989 menjadi catatan tersendiri bagi Wanagama. Setidaknya, nama Wanagama menjadi kesohor. Di samping itu, rute yang dilalui Pangeran Charles menjadi rute kebanggaan yang sering ditapaktilasi para wisatawan. Rute ini diawali dari lobi Wisma Cendana menuju Bukit Cendana (dulunya bernama Bukit Hell). Jalan menuju ke Bukit Cendana merupakan jalan setapak sejauh kurang lebih 50 m. Sekitar jalan setapak tersebut terdapat banyak pohon cendana.
Dari atas bukit cendana tersebut, Anda bisa memandang sekitar kawasan Wanagama. “Beautiful,” kata Pangeran Charles sembari matanya menatap ke rerimbunan pohon cendana. Bukit Cendana memang merupakan tempat yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tempat lain dalam kawasan Wanagama. Dari sini terlihat alur Sungai Oya yang mengular dengan warna airnya yang coklat. Jika udara cerah, pada sore atau pagi hari akan jelas terlihat Gunung Merapi di kejauhan.
Peninggalan lain Pangeran Charles yang menjadi daya tarik Wanagama adalah tanaman jati, yang terkenal dengan sebutan jati londo. Pohon kenangan ini semakin menarik karena konon ada hubungan antara kehidupan pribadi Charles dengan kondisi pohon. Saat pengumuman perpisahan dengan istrinya Putri Diana, pohon ini menjadi kering batangnya. Padahal belum ada 1 m tingginya. Untung bersemi lagi setelah dipotong di antara bagian yang kering dan basah. Namun setelah agak tinggi (sekitar 3 m) batang pohon kembali layu dan patah. Anehnya, patahnya batang ini berbarengan dengan pengumuman perceraian antara Pangeran Charles dan Putri Diana. Saat ini, pohon jati tersebut bersemi kembali dengan dua cabang.
“Nah, apakah berseminya kembali pohon jati ini menandakan bakal rujuknya kembali Pangeran Charles, ataukah dengan tumbuhnya dua cabang ini mereka semakin sulit bersatu kembali? Wallahualam,” kata Wadimin, koordinator keamanan Hutan Wanagama yang mengantar Intisari selama kunjungan ke sana.
Selain rute Pangeran Charles, rute Pangeran Bernhard juga menarik wisatawan. Bernhard – ayahanda Ratu Beatrix dari Belanda -berkunjung ke Wanagama tanggal 21 Maret 1996. Berbeda dengan Pangeran Charles, kunjungan Pangeran Bernhard agak lama. Oleh sebab itu ia agak lebih leluasa menjelajahi Wanagama, meskipun dengan kendaraan.
![]() |
Salah satu tempat yang menarik Pangeran Bernhard adalah air terjun. Menurut informasi, air ini mengalir sepanjang musim. Di tempat ini Bernhard menyempatkan untuk turun dari kendaraan dan melihat gerojokan yang bening di tengah hutan. Sama seperti Pangeran Charles, Pangeran Bernhard juga meninggalkan kenangan berupa pohon jati (Tectona grandis). Pohon ini sudah setinggi pohon jati londo.
Dibantu burung
Sore hari sembari menunggu matahari larut dalam kerembangan petang, di atas Bukit Cendana terlihat puluhan burung berarak pulang ke sarang. Menurut pengamatan yang pernah dilakukan pihak Fakultas Kehutanan, ada sekitar 30 jenis burung yang menghuni Wanagama. Burung ini menjadi perhatian tersendiri ketika ternyata menjadi mediator bagi penyebaran tunas cendana.
Pohon cendana terpilih menjadi pohon penghijauan. Namun berhubung kondisi tanah yang tidak mendukung, banyak yang mati. Yang tersisa hanya sekitar 10 pohon. Beberapa tahun kemudian, Oemi dikejutkan dengan munculnya tunas-tunas cendana baru yang tersebar tak merata. Usut punya usut, semua itu hasil kerja burung-burung yang memakan biji cendana dan membuangnya sembarangan ketika buang kotoran.
Ketika malam mulai menggayut di sela pepohonan, kesunyian Wanagama dipecahkan oleh paduan suara jangkrik dan serangga lainnya. Meski begitu, tak sedikit pun terasa keangkerannya. Wanagama menyediakan fasilitas bagi siapa saja untuk bermalam di sana. Ada wisma yang bisa menampung ratusan pengunjung. Air dan listrik juga tersedia dalam jumlah yang mencukupi. Bagi yang senang tinggal menyatu dengan alam, terdapat pula bumi perkemahan.
Fasilitas lainnya yang ada adalah ruang makan, sarana olahraga, aula, pendopo, dan tentunya ruang kelas dan penunjang pendidikan lainnya. Disediakan pula menu makan siang yang khas seperti urap, trancam, ikan bakar, pecel, sayur asam, pepes ikan, dan rujak Wanagama.
Sebagai kawasan yang bisa dikembangkan jadi obyek wisata ekologi, Wanagama juga bisa menjadi sarana belajar mengenal pepohonan. Soalnya, di sini terdapat beberapa jenis pohon yang termasuk langka, semisal eboni atau kayu hitam (Dyospiros sp.) yang bibitnya didatangkan dari Sulawesi dan Eucalyptus yang di Irian justru sulit tumbuh. Wanagama bisa dijadikan sebagai pelengkap mata rantai pariwisata di Kab. Gunung Kidul, sebab dekat dengan objek wisata lain seperti Pantai Baron, Pantai Krakal, Pantai Kukup, Gua Bribin, Wot Lemah, serta Gua Lawa.
Arit musuh utama
Dari fungsinya, kehadiran Wanagama seolah-olah merupakan oase bagi kegersangan dan ketandusan bukit kapur Gunung Kidul. Kawasan hutan ini juga sangat besar manfaatnya bagi penduduk sekitar. Namun ada dari mereka yang belum memiliki kearifan tradisional yang sangat dibutuhkan dalam menjaga kelestarian hutan. “Musuh utama kami adalah arit,” kata Wadimin.
Arit merupakan benda tajam yang biasa digunakan oleh petani setempat untuk membabat rumput atau dedaunan sebagai pakan ternak. Jadi yang dimaksud Wadimin, kawasan Wanagama terancam keberadaannya oleh para pencari pakan ternak. Hal ini berkaitan dengan bantuan ternak tanpa didukung bantuan pakan yang cukup. Sementara itu di tempat lain sulit diperoleh rumput maupun dedaunan karena kekeringan masih akrab dengan sebagian besar kawasan di Kabupaten Gunung Kidul. Tak pelak lagi, Wanagama menjadi alternatif bagi kelangsungan hidup sang ternak.
Betapa arit menjadi momok bisa terlihat di salah satu petak. Kawasan yang ditumbuhi pohon sengon itu kini tinggal menyisakan 2 batang pohon saja. Mula-mula daunnya yang dipangkas. Lama-kelamaan batang pohon pun kering dan berubah fungsi sebagai kayu bakar atau bahan bangunan penduduk sekitar.
![]() |
Memang tak semua mengambil manfaat dari Wanagama sambil merusak. Selain memberikan lahan pekerjaan bagi penduduk sekitar, tanah di sela-sela pepohonan juga bisa dimanfaatkan untuk menanam palawija. Atau seperti yang terlihat di petak 17, tanah kosong di bawah rindangnya pepohonan akasia mangium dimanfaatkan untuk beternak lebah. Usaha yang dilakukan oleh Sunaryono ini ternyata bisa menambah penghasilan keluarga. Madu asli yang dihasilkannya banyak dibeli pengunjung maupun pejabat yang bertandang ke Wanagama. Harga per botol ukuran ± 300 ml Rp 20.000,- dan dijamin asli!
Saat ini untuk berkunjung ke Wanagama masih memerlukan izin, terlebih bagi yang ingin menginap. Wanagama tidak saja terkenal di Indonesia, tapi keberhasilan usaha Oemi dkk. tersebut bergaung sampai ke luar negeri. Setiap musim liburan, serombongan siswi sebuah SMTP Singapura dan beberapa mahasiswa selalu berkunjung dan menginap di sana. Dari buku tamu juga tercatat adanya kunjungan dari negara Filipina, Thailand, Singapura, dan Australia. Tim Ahli Kehutanan Sri Lanka pun terkesan dengan penghijauan Wanagama. Namun Oemi, peraih Kalpataru tahun 1989 sebagai Pembina Lingkungan, berujar, “Untuk menjadi objek wisata penuh, kami belum siap!” (Yds. Agus Surono/G. Sujayanto)
@
Source :indomedia.com/intisari/1997/jan
banyak hutang kita pada pahlawan2 wanagama. sungguh dosa besar ketika kita tidak merawat alam ini. let’s join with us. ECOLIFE
Jangan sia-siakan peninggalan dan cita-cita ibu Oemi. Cita-cita beliau harus diwujudkan. WANAGAMA harus maju dan besar, lebih dari sekarang.
Kita harus lestarikan alam raya kita sebagai harta yang tiada tara untuk para generasi mendatang dan tentunya keseimbangan ekosistem. Wanagama is the real plan to be our actions.
salam..
saat ini saya menjual CD cara ternak ulat sutera yang benar, hanya dengan harga 50 ribu.
CD bukan berisi ebook PDF atau paparan data melainkan video interaktif/audio visual bagaimana prakteknya
langsung di lapangan. dan ada juga buku panduannya setebal 254 halaman (berwarna + bergambar) harga 65 ribu.
jika berminat silahkan hub.saya di 081-911857815 atau email rozi679@gmail.com.
terima kasih
Luar biasa !!!, suatu ide, aksi dan sumbangan besar dari Prof. Oemi Hani’in Suseno di bidang lingkungan hidup kepada bangsa ini. Mudah-mudahan karya beliau dapat menginspirasi kita semua untuk semakin menghargai dan berperan aktif melestarikan lingkungan hidup kita serta dapat memotivasi kita untuk mengikuti jejaknya dalam menciptakan “hutan pendidikan” semacam itu di tempat lain. Amin.
Terima kasih